Tema : “ AYAH"
Karya: Waniel Weth
Aku benci kepadanya. Benar-benar benci. Laki-laki paruh baya
itu, yang seharusnya amat kucintai, Satu-satunya orang yang
kumiliki setelah ibu pergi, malah ku benci mati-matian. Setiap hari, aku selalu
pulang lewat tengah malam.
Bagiku, berada dirumah itu bagaikan di Neraka. Satu alasan,
karena dirumah ada orang itu. Setiap ia memergokiku pulang larut malam, Ia
langsung memarahiku habis-habisan,
mengomel panjang lebar. tentang ini lah, itu lah. Yang tak tahu, ucapan panjang
lebarnya itu sia-sia. Membuang tenaganya saja. Karena toh aku sama sekali tak
menghiraukan, menutup kupingku rapat-rapat, seolah tak ada yang berbicara
kepadaku. Entah apa yang merasuki diriku, hingga aku benar-benar membencinya.
Dia Ayahku! Ayah kandungku! tapi apa pantas ia ku panggil Ayah? Dia membuangku
dan Ibu, sementara ia menikah lagi dengan wanita lain, yang lebih mudah dan
cantik daripada Ibu. Lalu tiba-tiba ia kembali lagi dalam kehidupan kami
setelah wanita itu pergi meninggalkannya. Apa pantas laki-laki tak bertanggung
jawab ini ku panggil Ayah?! Kemana saja ia selama ini?! Aku dan Ibu,
bersusah payah hidup melarat di jalanan, tanpa sepeser pun
uang. Sebungkus nasi untuk makan pun kami sudah sangat bersyukur. Ayah macam
apa, yang membiarkan anaknya, memeras keringat dibawah terik matahari,
membiarkan anaknya, bertaruh nyawa di tengah jalanan yang penuh mobil-mobil
berseliweran, sementara dirinya enak-enakan.Duduk manis, bersantai di rumah
mewah bersama wanita yang tak tahu diri itu tanpa memikirkan sedikitpun
kondisiku dan Ibu. Kutanya sekali lagi, apa itu pantas disebut ayah?!
Puncak kebencianku padanya, pada suatu waktu,
Saat aku mencoba melunakkan hatiku untuk ikut makan malam
bersamanya. Ia mengajak berbicara tentang masa depanku. Bulan depan aku lulus
SMA dan melanjutkan ke Perguruan tinggi. Dia memaksaku mengambil jurusan
Ekonomi manajemen untuk meneruskan bisnisnya.
Tapi tak pernah tahu. Kalau sejak kecil aku ingin sekali
menjadi Seniman. Lantas, aku menolak idenya dan mengatakan pendapatku untuk
mengambil jurusan kesenian. Tapi apa yang perbuat?! Malah memarahiku
habis-habisan. Menghina pendapatku, mencaci i impianku sejak kecil itu,
mengatakan kalau aku benar-benar sinting dan bodoh bila aku masuk ke fakultas
kesenian. Kukatakan kepadanya setengah membentak, aku sudah besar! "Aku
bisa menentukan kehidupanku sendiri? Ini hidupku, hakku pribadi untuk
menentukan kemana aku akan melangkah selanjutnya! Aku bukan robot yang bisa aku
perintah kesini kesana kemari!" Mendengar aku tetap kekeh pada
pendirianku, Ia mala mengancam tak mau membiayai kuliahku. Tantangan yang ia
beriak pun ku jawab dengan aksiku minggat dari rumah. Hidupku kembali seperti
dulu,
Berjuang sendiri demi hidupku bebas, bebas menggapai semua
impianku
yang sejak dulu ingin kucapai akhir 2 tahun berlalu. Tiba-tiba,
ia datang dan berdiri di depan pintu kost ku.
Penampilan Laki-lak itu jauh berbeda dari 2 tahun yang lalu.
Matanya cekung karena
Kurang tidur, badannya kurus dan mulai mengeriput, dan...
Dimana wajah angkuh nanti sombong yang bisa ia tampilkan itu?
Hanya ekspresi sendu yang dapat kulihat dari wajahnya saat
itu. Tapi rasa kesal dan amarahku masih amat besar terhadapnya. Langsung ku
usir dia dari rumahku. Ternyata sifat keras kepalanya sama sekali tak berubah.
Ia tetap berdiri disana, tak bergeming sedikitpun. Kesalku bertambah. Ku dorong
badannya menjauhi pintu lalu aku pergi menjauh. Ya tuhan, betapa keras
kepalanya ayahku ini. Dengan fisik
rentannya ia masih mencoba mengejarku . Aku terpaksa
mempercepat langkahku, berlari menyeberangi jalan raya yang tepat berada di
depan berada di depan kost-ku. Yang aku
tak tahu, saat itu sebuah mobil box melaju kencang ke arahku, saat itu aku
menyadarinya, aku hanya pasrah dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
*** Saat aku membuka mata, kukira aku telah terbang menuju
alam lain sana, tetapi tidak. Nyatanya aku masih berdududk dipinggir trotoar,
sementara warga semakin ramai berkerumun di depanku. Rasa penasaran membuatku bangkit dan melihat
apa yang terjadi. Dalam pandangku, laki-laki itu terkapar, bersimbah darah.
Tak terasa air mataku
menggenang, bahuku mulai berguncang keras. Entah mengapa
tangisku mengalir deras tanpa bisa ditahan kalinya, aku menyadari, aku
menyayangi Ayahku.
***Pendarahan otak yang dialami ayahku gara-gara kecelakaan
itu terlalu parah. Nyawanya tak bisa diselamatkan. Sebagai anak Satu-satunya,
jelaslah kalau hanya aku yang bisa meneruskan bisnis ayahku bini. 2
hari setelah kematian ayah, aku langsung pergi ke kantor. Mengurus semua keperluan yang kubutuhkan untuk
mencantikan ayahku di perusahaan. Aku masuk ke dalam ruangan kerja Ayahku untuk
membereskan barang-barang peninggalannya, dan aku menemukan sebuah surat lusuh
yang menarik perhatianku dalam laci mejanya. Kubaca surat itu. ....... Anakku
tersayang.. Langit Ramadhan. Dimana kamu sekarang? Ayah kangen sama kamu. Apa
kamu masih ingat sama ayah? Pasti kamu sudah besar sekarang. Maafin ayah, nak.
Maafin ayah. Ayah pergi meninggalkan dan ibumu. Ayah menterlantarkanmu. Maafin
ayah.
Ayah nggak bisa menemani kamu tumbuh dewasa. Ayah nggak
pernah memberimu semangat saat kamu bertanding bola dengan teman-temanmu. Ayah
juga
nggak pernah menemani kamu bermain, Ayah nggak pernah
melakukan apa yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya Ayah minta maaf, nak. Ayah benar-benar minta
maaf. Meninggalkanmu dan Ibu, adalah
kesalahan terbesar yang pernah ayah buat. Maafin Ayah... Bercak tetesan air
mata Ayah masih tercetak jelas diatas
kertas itu. Membuatku menyadari kesalahan terbesarku. Membenci Ayahku,
seseorang yang dulu sangat kurindukan kehadirannya. Kunantikan kasih sayang
serta pelukannya. Kini semua telah terlambat. Aku benar-benar terlambat
menyadarinya, bahwa sebenarnya aku sayang Ayahku, bahwa aku butuh perhatian dan
kasih sayang, seperti anak-anak lainnya.
Lantas aku mengikuti diriku.Tuhan, mengapa penyelesaian datang terlambat? Ku
hanya baca surat ini, ternyata Ayahku sayang salam Ayah tetapi Aku salah paham
tentang kehidupanku. Ayah Nak minta maaf lagi walaupun Ayah pergi tetapi secara
tidak lihat muka, aku maafin Ayah. Ayah perintamu juga sangat bagus, tapi ku
tak dengar semuanya itu. Biarlah sudah terpisah tak akan ketemu, Ayah pergi
sudah jauh dariku. Dimana tuhan samakan pasti akan perjumpaan akan menghilangkan rasa sakit yang terjadi dalam
kalbu.
Itulah cerita kehidupan keluarga tokoh Mizra.
Editting by Waniel Weth