peta situs

Senin, 08 September 2025

Yang Menikmati Dana Otsus Papua Diam, Sedangkan yang Belum Mendapatkan Dana Otsus Papua yang Berteriak Minta Merdeka

 “Yang Menikmati Dana Otsus Papua Diam, Sedangkan yang Belum Mendapatkan Dana Otsus Papua yang Berteriak Minta Merdeka”

Oleh, Waniel Weth mahasiswa universitas Cenderawasih Jayapura.

 

              Dok: foto ilustrasi orang Papua menikmati hidup dengan dana Otsus Papua.



Pendahuluan

Otonomi Khusus (Otsus) Papua merupakan kebijakan pemerintah Indonesia yang diberikan kepada Provinsi Papua sejak tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat Papua dalam mengatur pembangunan daerahnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta mengurangi kesenjangan antara Papua dan daerah lain di Indonesia.


Namun dalam pelaksanaannya, dana Otsus yang jumlahnya sangat besar justru menimbulkan perdebatan. Ada pihak-pihak tertentu yang mendapatkan akses lebih luas terhadap dana Otsus dan hidup dalam kenyamanan, sementara sebagian masyarakat Papua lainnya merasa terpinggirkan karena tidak merasakan manfaat secara langsung. Hal inilah yang menimbulkan paradoks: mereka yang menikmati dana Otsus cenderung diam, sedangkan masyarakat yang tidak mendapat manfaatnya justru bersuara keras bahkan menuntut kemerdekaan.



Pembahasan


1. Tujuan dan Realitas Dana Otsus


Dana Otsus diharapkan dapat digunakan untuk sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua. Namun dalam kenyataan, penyaluran dana Otsus sering kali tidak merata dan terjebak dalam birokrasi serta kepentingan politik elit daerah.


Banyak laporan menunjukkan adanya praktik korupsi, salah sasaran program, hingga ketidaktransparanan dalam pengelolaan anggaran. Akibatnya, masyarakat pedalaman Papua masih kesulitan mengakses layanan pendidikan dan kesehatan, sementara segelintir elit politik dan birokrat menikmati keuntungan besar.


2. Diamnya Penerima Manfaat Otsus


Kelompok yang mendapatkan akses dana Otsus, baik secara langsung maupun tidak langsung, cenderung diam. Hal ini karena mereka sudah diuntungkan secara ekonomi dan sosial. Mereka bisa menikmati fasilitas pendidikan, pekerjaan, dan peluang usaha. Diamnya kelompok ini menandakan adanya sikap pasif akibat ketergantungan pada dana Otsus, tanpa kritik terhadap ketidakadilan distribusi.


3. Suara Merdeka dari Kelompok yang Terpinggirkan


Sebaliknya, masyarakat Papua yang tidak mendapatkan manfaat dari dana Otsus, khususnya masyarakat di daerah pedalaman dan wilayah terisolasi, sering kali merasa tidak diperhatikan. Mereka tetap miskin, sulit mengakses pendidikan, pelayanan kesehatan, serta infrastruktur dasar. Kondisi ini membuat sebagian dari mereka menyuarakan ketidakpuasan bahkan menuntut kemerdekaan sebagai bentuk perlawanan.


4. Politisasi Dana Otsus


Dana Otsus sering dijadikan alat politik untuk menguatkan kekuasaan elit lokal dan sebagai bargaining politik antara pusat dan daerah. Hal ini memperkuat stigma bahwa Otsus bukan solusi bagi Papua, melainkan hanya “gula-gula politik” untuk meredam tuntutan kemerdekaan.


5. Jalan Keluar: Transparansi dan Keadilan


Untuk menjawab masalah ini, beberapa langkah perlu dilakukan:


Transparansi pengelolaan dana Otsus melalui audit independen.


Pemerataan akses bagi masyarakat Papua, khususnya di daerah pedalaman.


Pemberdayaan masyarakat lokal agar tidak hanya bergantung pada elit politik.


Dialog konstruktif antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua agar suara kritis tidak hanya dijawab dengan pendekatan keamanan, melainkan dengan solusi kesejahteraan.



Penutup


Paradoks diamnya penerima manfaat dana Otsus dan kerasnya suara mereka yang tidak menikmatinya menunjukkan adanya ketimpangan dalam pengelolaan kebijakan tersebut. Otsus seharusnya menjadi jembatan untuk kesejahteraan, bukan sumber konflik sosial dan politik. Jika pengelolaan dana Otsus tidak segera diperbaiki dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan pemerataan, maka potensi konflik dan tuntutan merdeka dari masyarakat Papua akan terus bergema.



Daftar Pustaka


1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.


2. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2021). Laporan Hasil Pemeriksaan Dana Otonomi Khusus Papua.


3. Ginting, A. (2020). Otonomi Khusus Papua: Harapan dan Realitas. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.


4. Kementerian Keuangan RI. (2022). Data dan Evaluasi Dana Otsus Papua.


5. Widjojo, M. S. (2015). Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. Jakarta: LIPI Press.


6. Tebay, N. (2009). Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua. Jayapura: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian.


7. Tempo. (2021). “20 Tahun Dana Otsus Papua, Siapa yang Diuntungkan?”


8. Kompas. (2022). “Ketimpangan Otsus Papua dan Suara Kemerdekaan.”


9. Elmslie, J. (2018). West Papua: The Issue of Political Independence and Autonomy. Sydney: University of New South Wales.



10. Ikrar Nusa Bhakti. (2013). Papua dalam Politik Nasional Indonesia. Jakarta: LIPI.

Selasa, 02 September 2025

Mengenal Dirimu Sebelum Mengenal Orang Lain.


Mengenal Dirimu Sebelum Mengenal Orang Lain

     Editor: Waniel Weth 


        Doc: Stiker foto orang yang bermandiri dalam segala hal.


Pendahuluan

      Setiap individu memiliki perjalanan hidup yang unik, dengan pengalaman, pemikiran, dan emosi yang membentuk identitas diri. Namun, sering kali manusia lebih sibuk menilai orang lain daripada memahami dirinya sendiri. Padahal, mengenal diri (self-awareness) merupakan kunci utama dalam membangun hubungan sosial, mencapai kedewasaan emosional, serta menentukan arah hidup. Socrates, seorang filsuf Yunani, pernah menyatakan, “Kenalilah dirimu sendiri.” Ungkapan ini menekankan pentingnya refleksi diri sebelum kita berinteraksi dan menilai orang lain.


Pembahasan


1. Konsep Mengenal Diri

       Mengenal diri berarti memahami potensi, kelebihan, kelemahan, nilai hidup, serta tujuan yang ingin dicapai. Menurut Daniel Goleman (1995) dalam bukunya Emotional Intelligence, kesadaran diri adalah fondasi dari kecerdasan emosional yang akan memengaruhi cara seseorang mengelola emosi, membangun relasi, hingga mengambil keputusan.


2. Hubungan Mengenal Diri dan Interaksi Sosial

       Seseorang yang mengenal dirinya dengan baik akan lebih mudah memahami orang lain. Hal ini karena ia memiliki empati, stabilitas emosional, dan kemampuan komunikasi yang lebih sehat. Sebaliknya, orang yang tidak mengenal dirinya cenderung mudah terjebak dalam konflik, iri hati, atau kesalahpahaman sosial.


3. Proses Mengenal Diri

       Proses mengenal diri bukanlah hal instan, melainkan perjalanan reflektif yang terus berkembang. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan:

Refleksi diri: menulis jurnal harian tentang perasaan, pengalaman, dan pembelajaran.

Menerima umpan balik: mendengarkan kritik dan saran dari orang lain secara bijak.

Meditasi dan doa: menenangkan diri untuk menemukan makna terdalam dari hidup.

Membaca dan belajar: memperluas wawasan agar memiliki perspektif yang lebih kaya.

4. Dampak Tidak Mengenal Diri

Individu yang gagal mengenal dirinya akan mudah terjebak dalam pencarian identitas semu, mengikuti arus tanpa arah, bahkan mengalami krisis eksistensial. Erik Erikson (1968) dalam teorinya tentang Identity vs Role Confusion menekankan bahwa kegagalan dalam memahami diri di usia muda dapat menimbulkan kebingungan identitas yang berkepanjangan.

5. Relevansi di Era Modern

Di tengah perkembangan teknologi dan media sosial, banyak orang lebih sibuk membandingkan dirinya dengan orang lain daripada memahami keunikannya. Fenomena fear of missing out (FOMO) dan identity crisis semakin marak. Karena itu, urgensi mengenal diri sendiri semakin besar agar tidak kehilangan arah di tengah derasnya informasi global.


Penutup


Mengenal diri sebelum mengenal orang lain bukan hanya ajaran filsafat klasik, tetapi juga kebutuhan psikologis dan sosial manusia modern. Kesadaran diri membawa kita pada penerimaan, kedewasaan, dan kemampuan membangun hubungan yang lebih sehat. Dengan memahami siapa diri kita sebenarnya, maka kita dapat lebih bijak dalam mengenal, memahami, dan menerima keberadaan orang lain.


Referensi


1. Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books.

2. Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: W. W. Norton & Company.

3. Covey, S. R. (1989). The 7 Habits of Highly Effective People. New York: Free Press.

4. Fromm, E. (1947). Man for Himself: An Inquiry into the Psychology of Ethics. New York: Rinehart.

5. Maslow, A. H. (1954). Motivation and Personality. New York: Harper & Row.

6. Socrates dalam Plato. (2002). Apology, Crito, Phaedo. Indianapolis: Hackett Publishing.

7. Tolle, E. (2004). The Power of Now: A Guide to Spiritual Enlightenment. Novato: New World Library.

8. Jalaluddin, R. (2010). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

9. Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont: Cengage Learning.

10. Frankl, V. E. (2006). Man’s Search for Meaning. Boston: Beacon Presiden.


Na, Waniel Weth 

Anak pedalaman Kampung Lulun, Papua 

Mengapa Papua Demonstrasi Hari Ini?

 

Mengapa Papua Demonstrasi Hari Ini?

Editor: Waniel Weth 


     Dok: Foto masa demostrasi, lingkaran Abepura, Jayapura Papua.



1. Aksi Demonstrasi Serentak di Papua

Hari ini, Selasa (2 September 2025), terjadi aksi demonstrasi di sejumlah wilayah Tanah Papua. Mahasiswa dan masyarakat menggelar unjuk rasa di beberapa titik, termasuk lingkaran Abepura (Jayapura), kantor DPRK Sarmi, DPRK Jayawijaya, dan Tugu Tiom Lanny Jaya. Tuntutan utamanya adalah pembebasan empat tahanan politik yang diduga terkait organisasi NFRPB, serta penolakan terhadap militerisasi dan penempatan pasukan non-organik di tanah Papua. Aparat keamanan—TNI, Polri, dan Satpol PP—mengamankan aksi tersebut sehingga berlangsung tertib dan kondusif .

2. Desakan Pengusutan Insiden di Sorong

Di lingkaran Abepura, ribuan mahasiswa dari Solidaritas Mahasiswa Papua menyuarakan kemarahan atas dugaan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat dan aktivis di Sorong—masih dalam kerangka insiden rusuh yang terjadi pada 27 Agustus 2025. Aksi ini mendesak Kapolda Papua Barat Daya dan Kapolresta Sorong segera mengusut tuntas insiden tersebut .

3. Demonstrasi Damai di Manokwari

Di Manokwari, Papua Barat, gabungan enam organisasi kemahasiswaan juga menggelar demonstrasi damai. Mereka menyerahkan 17 poin tuntutan kepada pemerintah provinsi dan DPRP Papua Barat. Aspirasi tersebut mencakup penolakan kenaikan tunjangan dewan, penghentian pemborosan uang rakyat, penghormatan terhadap hak politik masyarakat adat, serta prioritas politik bagi orang asli Papua dalam pengambilan kebijakan. Demonstrasi ini berlangsung tertib dan diapresiasi oleh pihak pemerintah daerah .

4. Simbol Unik dalam Aksi Demo: Bendera “One Piece”

Uniknya, dalam aksi di Jayapura, para demonstran mengibarkan bendera bajak laut dari anime One Piece—lambang simbol perlawanan—untuk menyuarakan kritik terhadap kondisi Papua saat ini. Simbol ini dipilih sebagai representasi keberanian mahasiswa menantang ketidakadilan dan meminta perbaikan dari pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah .

5. Sikap Tokoh Papua: Protes Dibolehkan, Tapi Jangan Anarkis

Aktivis dan tokoh Papua, Charles Kossay, menyatakan bahwa demonstrasi adalah hak perorangan, sebagaimana dijamin oleh UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum—termasuk di Papua. Namun ia mengingatkan agar aksi tetap damai dan tidak merusak fasilitas umum. Menurutnya, melakukan demonstrasi anarkis bukan hanya merugikan, tetapi juga berbahaya bagi citra dan persatuan masyarakat Papua dengan Indonesia luas .


Ringkasan Inti:

Titik Aksi Fokus Utama Demonstrasi
Lingkaran Abepura (Jayapura) Tuntutan pembebasan tahanan politik, penolakan militerisasi, pengusutan insiden Sorong
Manokwari, Papua Barat Penyerahan 17 tuntutan politik dan sosial kepada pemerintah provinsi
Seluruh Papua Manifestasi simbolis semangat perlawanan (bendera One Piece)
Sikap Elemen Masyarakat Dorongan agar demonstrasi tetap damai dan substansial, bukan destruktif.











Penulis, Waniel Weth 
Mahasiswa Sejarah FKIP-UNCEN JAYAPURA-PAPUA 


Mengapa Papua Belum Maju dalam segala Peradaban Walaupun Mendapat Dana Otonomi Khusus? Editor/penulis: Waniel


Mengapa Papua Belum Maju dalam segala Peradaban Walaupun Mendapat Dana Otonomi Khusus?

Editor/penulis: Waniel Weth

        Peta wilayah propinsi Papua, yang secara sah memberikan Otsus bagi orang Papua, tahun 2001.


Pendahuluan

       Papua adalah salah satu provinsi dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di Indonesia. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, rendahnya kualitas kesehatan, serta akses infrastruktur dasar masih menjadi persoalan utama. Pemerintah pusat telah mengalokasikan Dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahun 2001 sebagai bentuk afirmasi untuk mendorong percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan orang asli Papua. Ironisnya, meski dana yang digelontorkan mencapai ratusan triliun rupiah, kemajuan peradaban di Papua masih berjalan lambat.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: mengapa Papua belum bisa maju meskipun mendapatkan dana Otsus dari pemerintah pusat? Untuk menjawab hal ini, perlu ditelaah secara kritis dari aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, dan tata kelola pemerintahan.

Pembahasan

1. Masalah Tata Kelola dan Korupsi

Salah satu hambatan utama dalam efektivitas penggunaan dana Otsus adalah korupsi dan penyalahgunaan anggaran. Banyak laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa dana Otsus tidak sepenuhnya sampai kepada masyarakat. Sebagian dana habis di birokrasi atau dikorupsi oleh elit lokal, sehingga tidak menghasilkan dampak nyata bagi pembangunan.

Selain itu, kurangnya transparansi dan akuntabilitas menyebabkan masyarakat tidak mengetahui secara jelas bagaimana dana tersebut digunakan. Hal ini menciptakan jurang kepercayaan antara masyarakat dengan pemerintah daerah maupun pusat.

2. Lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM)

Peradaban suatu bangsa atau daerah sangat ditentukan oleh kualitas SDM. Di Papua, akses pendidikan masih terbatas, terutama di daerah pedalaman. Banyak anak Papua tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena faktor ekonomi, infrastruktur, maupun minimnya tenaga pengajar.

Dana Otsus memang dialokasikan sebagian besar untuk sektor pendidikan, tetapi implementasinya tidak optimal. Rendahnya kualitas SDM menyebabkan masyarakat Papua sulit bersaing dalam bidang ekonomi, teknologi, maupun pemerintahan.

3. Keterisolasian Wilayah dan Infrastruktur Dasar

Secara geografis, Papua memiliki kondisi alam yang sulit dijangkau. Banyak wilayah masih terisolasi tanpa akses jalan, listrik, maupun internet. Hal ini membuat distribusi barang, jasa, dan pelayanan publik tidak merata. Pembangunan infrastruktur yang dibiayai Otsus berjalan lambat dan tidak konsisten.

Kurangnya infrastruktur ini bukan hanya menghambat mobilitas ekonomi, tetapi juga mengisolasi masyarakat dari akses pendidikan modern, kesehatan, dan informasi global. Dengan demikian, Papua mengalami keterlambatan dalam proses modernisasi peradaban.

4. Faktor Sosial Budaya dan Ketergantungan

Dalam beberapa kasus, dana Otsus justru menimbulkan mental ketergantungan. Sebagian masyarakat menganggap dana tersebut sebagai "jatah" yang otomatis diterima tanpa keterlibatan aktif dalam pembangunan. Hal ini melemahkan inisiatif lokal untuk mengembangkan ekonomi kreatif atau kemandirian komunitas.

Di sisi lain, benturan nilai antara sistem modern dengan budaya lokal juga sering menjadi hambatan. Masyarakat Papua memiliki ikatan sosial dan budaya yang kuat, tetapi adaptasi terhadap perubahan global masih berjalan lambat. Jika budaya tidak diberdayakan dalam kerangka pembangunan, maka masyarakat akan tetap berada dalam posisi marginal.

5. Aspek Politik dan Konflik Keamanan

Tidak bisa dipungkiri, Papua masih menghadapi persoalan politik dan konflik separatisme. Kondisi ini sering kali menyerap perhatian pemerintah sehingga pembangunan terpinggirkan. Dana Otsus pun tidak jarang dimanfaatkan sebagai instrumen politik untuk meredam konflik, bukan semata-mata untuk pembangunan rakyat.

Selain itu, politik lokal yang sarat kepentingan elite turut memperlambat distribusi manfaat Otsus. Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, sebagian pemimpin daerah lebih mengutamakan kekuasaan dan kepentingan pribadi atau kelompok.

6. Kurangnya Partisipasi Masyarakat

Pembangunan di Papua sering bersifat top-down, di mana kebijakan dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah tanpa melibatkan aspirasi masyarakat adat. Hal ini mengakibatkan program-program pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat di lapangan. Padahal, keberhasilan pembangunan memerlukan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.


Penutup

     Dana Otonomi Khusus Papua sejatinya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan dan mempercepat kemajuan peradaban masyarakat Papua. Namun, realitas menunjukkan bahwa dana tersebut belum mampu memberikan dampak signifikan. Faktor penyebabnya meliputi lemahnya tata kelola dan korupsi, rendahnya kualitas SDM, keterisolasian infrastruktur, mental ketergantungan, konflik politik, serta minimnya partisipasi masyarakat.

Oleh karena itu, jika Papua ingin benar-benar maju, perlu dilakukan reformasi tata kelola Otsus yang transparan, penguatan SDM berbasis pendidikan dan literasi, pembangunan infrastruktur yang merata, pemberdayaan budaya lokal, serta pelibatan masyarakat dalam setiap aspek pembangunan. Dana Otsus bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya sarana. Yang paling menentukan adalah bagaimana dana itu dikelola secara adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat Papua.



Referensi

1. Tim LIPI. (2009). Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. Jakarta: LIPI Press.


2. Widjojo, M. S., et al. (2010). Papua: Solusi Damai dan Berkelanjutan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


3. Bappenas. (2020). Laporan Evaluasi 20 Tahun Otonomi Khusus Papua. Jakarta: Bappenas.


4. Kementerian Keuangan RI. (2021). Laporan Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Jakarta: Kemenkeu.


5. Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Kesejahteraan Rakyat Papua. Jakarta: BPS.


6. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2019). Kajian Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Papua. Jakarta: KPK.


7. Chauvel, R., & Bhakti, I. N. (2004). The Papua Conflict: Jakarta’s Perceptions and Policies. Washington DC: East-West Center.


8. Elmslie, J., & Webb-Gannon, C. (2013). A Slow-Motion Genocide: Indonesian Rule in West Papua. Griffith Journal of Law & Human Dignity.


9. Taufik, I. (2017). Otonomi Khusus Papua: Antara Harapan dan Kenyataan. Jurnal Politik, 5(2), 123–140.


10. Yoman, S. (2012). Otonomi Khusus Papua: Solusi atau Masalah Baru? Jayapura: Deiyai Publisher.




Penulis, WANIEL WETH 

Student of Cenderawasih university Jayapura, Papua-Indonesia 




Senin, 01 September 2025

Papua sebagai Perempuan Cantik oleh Indonesia

Papua sebagai Perempuan Cantik oleh Indonesia 

Oleh: Waniel Weth
Dok: contoh foto orang Indonesia jatuh cinta dengan perempuan Papua.


A. Pendahuluan 
Papua sering digambarkan sebagai tanah yang kaya sumber daya alam, indah, dan eksotis. Kekayaan mineral, keanekaragaman hayati, hingga potensi sosial-budaya menjadikan Papua seolah-olah “perempuan cantik” yang selalu menarik perhatian. Metafora ini menunjukkan bagaimana Papua diposisikan oleh negara Indonesia: sesuatu yang bernilai tinggi, diperebutkan, dan seringkali dipandang dari kacamata kepentingan politik dan ekonomi. Namun, di balik metafora “perempuan cantik” itu terdapat realitas lain: ketidakadilan, marginalisasi, hingga konflik sosial-politik yang berkepanjangan. Artikel ini berupaya menguraikan bagaimana Papua dipandang sebagai aset strategis Indonesia, serta implikasi dari pandangan tersebut terhadap pembangunan, politik identitas, dan kesejahteraan masyarakat Papua.

B.  Pembahasan 
1. Papua sebagai “Perempuan Cantik”: Sebuah Metafora Dalam konstruksi simbolik, perempuan cantik kerap diibaratkan sebagai sesuatu yang memikat dan bernilai tinggi. Papua, dengan keindahan alamnya dan kekayaan sumber daya alam seperti emas, tembaga, gas, serta hutan tropis yang luas, digambarkan seperti itu oleh negara. Sebagaimana perempuan cantik sering dijaga, diawasi, bahkan diperebutkan, demikian pula Papua selalu menjadi pusat perhatian dalam kebijakan nasional.

 2. Dimensi Politik dan Kekuasaan Papua memiliki posisi strategis dalam politik Indonesia. Sebagai wilayah paling timur, Papua adalah simbol integritas NKRI. Pemerintah pusat sering menekankan bahwa mempertahankan Papua sama dengan mempertahankan keutuhan bangsa. Namun, pendekatan politik yang dominan sering lebih menekankan pada stabilitas keamanan dibanding pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua. Dalam metafora perempuan cantik, Papua dijaga ketat agar tidak “diambil” pihak lain, tetapi tidak selalu didengarkan aspirasinya. 

3. Dimensi Ekonomi: Kekayaan yang Menggoda Kekayaan alam Papua, khususnya tambang emas dan tembaga di Freeport, menjadikan wilayah ini ibarat “perempuan cantik” yang tak bisa dilepas. Sumber daya tersebut berkontribusi besar terhadap pendapatan nasional. Namun, ironi terjadi karena masyarakat Papua sendiri seringkali tidak merasakan manfaat yang proporsional dari kekayaan alam tersebut. Kemiskinan, ketimpangan pembangunan, dan keterbatasan akses pendidikan serta kesehatan masih menjadi persoalan serius. 4. Dimensi Sosial-Budaya: Cantik yang Terpinggirkan Papua memiliki keragaman budaya dan identitas yang unik, dengan ratusan suku dan bahasa lokal. Keindahan budaya ini juga merupakan bagian dari “kecantikan” Papua. Namun, dalam arus pembangunan nasional, kearifan lokal sering terpinggirkan. Modernisasi dan proyek-proyek pembangunan kadang menyingkirkan cara hidup tradisional masyarakat adat. Papua sebagai perempuan cantik, dalam hal ini, dihias sesuai selera pihak luar, bukan dibiarkan mengekspresikan kecantikannya sendiri.

 5. Konflik dan Resistensi Tidak jarang, metafora “perempuan cantik” juga membawa implikasi konflik. Karena dianggap terlalu berharga, Papua dijaga dengan ketat oleh negara, namun pengawalan itu sering menghadirkan pendekatan represif. Hal ini memicu resistensi dan konflik berkepanjangan. Seperti perempuan cantik yang tidak diberi ruang menentukan pilihannya, Papua sering merasa tidak memiliki kuasa penuh atas nasibnya sendiri.

 6. Jalan Menuju Relasi yang Adil Jika metafora Papua sebagai perempuan cantik terus dipertahankan, maka keindahan itu harus dihargai dengan cara yang adil: bukan hanya dijaga, melainkan juga didengarkan, diberdayakan, dan diberikan ruang untuk berkembang sesuai jati dirinya. Negara perlu menempatkan Papua bukan sekadar sebagai aset strategis, melainkan sebagai subjek pembangunan yang setara. 

C. Penutup 

Metafora “Papua sebagai perempuan cantik” menggambarkan bagaimana Indonesia memandang wilayah ini: kaya, memikat, dan taketergantikan. 
Namun, di balik itu ada ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang dialami masyarakat Papua. Untuk itu, paradigma pembangunan dan politik di Papua harus berubah: dari Papua sebagai objek kekuasaan menuju Papua sebagai subjek yang bermartabat. Dengan demikian, kecantikan Papua tidak hanya menjadi milik Indonesia secara simbolik, tetapi juga dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat Papua sendiri.

Yang Menikmati Dana Otsus Papua Diam, Sedangkan yang Belum Mendapatkan Dana Otsus Papua yang Berteriak Minta Merdeka

 “Yang Menikmati Dana Otsus Papua Diam, Sedangkan yang Belum Mendapatkan Dana Otsus Papua yang Berteriak Minta Merdeka” Oleh, Waniel Weth ma...