Oleh: Waniel Weth
A. Pendahuluan
Dok: contoh foto orang Indonesia jatuh cinta dengan perempuan Papua.
Papua sering digambarkan sebagai tanah yang kaya sumber daya alam,
indah, dan eksotis. Kekayaan mineral, keanekaragaman hayati, hingga potensi
sosial-budaya menjadikan Papua seolah-olah “perempuan cantik” yang selalu
menarik perhatian. Metafora ini menunjukkan bagaimana Papua diposisikan oleh
negara Indonesia: sesuatu yang bernilai tinggi, diperebutkan, dan seringkali
dipandang dari kacamata kepentingan politik dan ekonomi. Namun, di balik
metafora “perempuan cantik” itu terdapat realitas lain: ketidakadilan,
marginalisasi, hingga konflik sosial-politik yang berkepanjangan. Artikel ini
berupaya menguraikan bagaimana Papua dipandang sebagai aset strategis Indonesia,
serta implikasi dari pandangan tersebut terhadap pembangunan, politik identitas,
dan kesejahteraan masyarakat Papua.
B. Pembahasan
1. Papua sebagai “Perempuan
Cantik”: Sebuah Metafora Dalam konstruksi simbolik, perempuan cantik kerap
diibaratkan sebagai sesuatu yang memikat dan bernilai tinggi. Papua, dengan
keindahan alamnya dan kekayaan sumber daya alam seperti emas, tembaga, gas,
serta hutan tropis yang luas, digambarkan seperti itu oleh negara. Sebagaimana
perempuan cantik sering dijaga, diawasi, bahkan diperebutkan, demikian pula
Papua selalu menjadi pusat perhatian dalam kebijakan nasional.
2. Dimensi
Politik dan Kekuasaan Papua memiliki posisi strategis dalam politik Indonesia.
Sebagai wilayah paling timur, Papua adalah simbol integritas NKRI. Pemerintah
pusat sering menekankan bahwa mempertahankan Papua sama dengan mempertahankan
keutuhan bangsa. Namun, pendekatan politik yang dominan sering lebih menekankan
pada stabilitas keamanan dibanding pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Dalam metafora perempuan cantik, Papua dijaga ketat agar tidak “diambil” pihak
lain, tetapi tidak selalu didengarkan aspirasinya.
3. Dimensi Ekonomi: Kekayaan
yang Menggoda Kekayaan alam Papua, khususnya tambang emas dan tembaga di
Freeport, menjadikan wilayah ini ibarat “perempuan cantik” yang tak bisa
dilepas. Sumber daya tersebut berkontribusi besar terhadap pendapatan nasional.
Namun, ironi terjadi karena masyarakat Papua sendiri seringkali tidak merasakan
manfaat yang proporsional dari kekayaan alam tersebut. Kemiskinan, ketimpangan
pembangunan, dan keterbatasan akses pendidikan serta kesehatan masih menjadi
persoalan serius. 4. Dimensi Sosial-Budaya: Cantik yang Terpinggirkan Papua
memiliki keragaman budaya dan identitas yang unik, dengan ratusan suku dan
bahasa lokal. Keindahan budaya ini juga merupakan bagian dari “kecantikan”
Papua. Namun, dalam arus pembangunan nasional, kearifan lokal sering
terpinggirkan. Modernisasi dan proyek-proyek pembangunan kadang menyingkirkan
cara hidup tradisional masyarakat adat. Papua sebagai perempuan cantik, dalam
hal ini, dihias sesuai selera pihak luar, bukan dibiarkan mengekspresikan
kecantikannya sendiri.
5. Konflik dan Resistensi Tidak jarang, metafora
“perempuan cantik” juga membawa implikasi konflik. Karena dianggap terlalu
berharga, Papua dijaga dengan ketat oleh negara, namun pengawalan itu sering
menghadirkan pendekatan represif. Hal ini memicu resistensi dan konflik
berkepanjangan. Seperti perempuan cantik yang tidak diberi ruang menentukan
pilihannya, Papua sering merasa tidak memiliki kuasa penuh atas nasibnya
sendiri.
6. Jalan Menuju Relasi yang Adil Jika metafora Papua sebagai perempuan
cantik terus dipertahankan, maka keindahan itu harus dihargai dengan cara yang
adil: bukan hanya dijaga, melainkan juga didengarkan, diberdayakan, dan
diberikan ruang untuk berkembang sesuai jati dirinya. Negara perlu menempatkan
Papua bukan sekadar sebagai aset strategis, melainkan sebagai subjek pembangunan
yang setara.
C. Penutup
Metafora “Papua sebagai perempuan cantik” menggambarkan
bagaimana Indonesia memandang wilayah ini: kaya, memikat, dan taketergantikan.
Namun, di balik itu ada ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang dialami
masyarakat Papua. Untuk itu, paradigma pembangunan dan politik di Papua harus
berubah: dari Papua sebagai objek kekuasaan menuju Papua sebagai subjek yang
bermartabat. Dengan demikian, kecantikan Papua tidak hanya menjadi milik
Indonesia secara simbolik, tetapi juga dapat dirasakan secara nyata oleh
masyarakat Papua sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar